(Dok.
Pribadi)
Oleh: Guntur Mahesa Purwanto
Kehidupan itu ada hitam dan ada putih. Tapi, mau
kemana kita melangkah/memilih, itu adalah kuasa kita dalam menentukan nasib
kedepannya. Selepas ikhtiar itu, tawakal kepada Allah Swt.
Membahas warna hitam dan warna putih. Suci dan
bernoda, atau bersih dan kotor, saya teringat jelas kampung kelahiran saya.
Mengapa?
Malam itu, saat saya menjadi penanggungjawab
pesantren ramadhan di tempat saya mengajar, malam itu pula saya ikut untuk menghadiri
undangan dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Majalengka dalam rangka nobar
dan sharing opini terkait film "Sexy Killer".
Saat asyiknya kami menganalisis dan memfokuskan
pandangan menuju layar tancap, tiba-tiba...
"Sssreessss... Duar!"
Terlihat sebuah petasan korek berwarna putih hampir
mengenai motor dan menggangu ketenangan dan kefokusan kami saat itu sampai
beberapa kali.
Atas terganggunya saya disertai dengan rasa penasaran
siapa pelakunya, sontak saya langsung bersigap dan menyalakan motor yang tadi
sempat terkena petasan tadi.
Langsung saya incar kesetiap sudut dengan penerangan
cahaya motor yang kala itu cukup gelap. Saya saat itu sendirian, dan waktu
sudah menunjukan tengah malam.
Tak sampai disitu, saya kembali lagi untuk menyimpan
motor dan mencari seorang diri dengan berjalan kaki ke titik yang diduga pelaku
tersebut kabur.
"Anak-anak sih", ujarku dalam hati.
"Tapi, kemanakah orang tuanya, sampai larut
malam ini mereka main dan berkeluyuran bahkan berbuat onar", geramku dalam
hati.
Ditelusurinya jalan demi jalan di sebuah blok. Saat
itu saya memakqi atasan jas hitam dengan bawahan sarung dan peci, menyusuri
setiap tempat.
"Astagfitullah...", ucapku dalam hati.
Puluhan pemuda nongkrong di tempat ronda yang kala
itu saya tidak terlalu memperhatikan mereka sedang apa. Yang pasti, kepala
mereka tertunduk seperti sedang bermain kartu remi.
Tidak sampai disitu, pencarian saya hilang untuk
menangkap sekelompok pelempar petasan tersebut. Oleh karena itu, saya
memutuskan pulang saja.
Beberapa langkah lagi akan sampai di sekolah,
tiba-tiba terdengar suara seseorang yang bernada marah berkomentar terhadap
perjalanan saya.
Kata seorang murid saya, katanya, orang tadi itu
sedang mabuk. Mirisnya, di blok itu, dan mungkin di yang lain juga, fenomena
seperti itu dianggap biasa dan tidak dipermasalahkan.
Teringat Banser NU dan FPI yang menurut cerita teman
saya, dulu ia aktif banser dan selalu bersama-sama dengan FPI dalam memberangus
kemaksiatan di desa saya. Sayang, sekarang pergerakan tersebut kian hari kian
redup. Mungkin perlu regenerasi.
Dan dalam pengamatan pribadi, kampung kelahiranku ini
perlu ditumbuhkan dan dikembangkan dengan kegiatan keagamaan yang tidak sebatas
seremonial. Akan tetapi, benar-benar terbina sehingga syariat Islam tertanam
disetiap hati dan akalnya, yang kelak diterapkan dalam kehidupannya.
Tidak sedikit juga aktivitas pacaran sering
mencengkeram rremaja yang kemudian berakibat hamil diluar nikah. Dan ini sudah
banyak sekali laporan yang saya terima, entah dari orang tua, kawan seperjuangan,
dll.
Begitulah kondisi generasi muda kali ini, yang
katanya disebut millenial dan lahir di era teknologi yang canggih, tapi
moralnya malah merosot bahkan tidak sedikit di antara mereka yang belum bisa
membaca Qur'an sama sekali dikarenakan pergaulan dan kurangnya pendidikan
keluarga.
Kalaupun mereka atau si anak tersebut disekolahkan,
tidak sedikit orang tua sekarang malah mencukupkan pembinaan itu sebatas di
sekolah semata. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang menyekolahkan anaknya
sebatas agar nanti mendapat ijazah serta kerja. Masalah agama, urusan
belakangan.
Sekali lagi, miris!!
ConversionConversion EmoticonEmoticon