(Sumber Foto: Google)
Oleh:
Guntur Mahesa Purwanto
Bagi
para pria, memimpin adalah suatu hal yang akan diembannya suatu saat kelak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “memimpin” merupakan kata dasar dari
“pimpin”. Memimpin berarti “mengetuai” atau “mengepalai”. Sedangkan “pemimpin”
adalah orang yang memimpin. Dari penjelasan arti kata tersebut bahwasanya pria
dikodratkan oleh Allah Swt. untuk memimpin suatu kaum/memimpin suatu negeri
atau minimalnya dirinya dapat menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Selain
itu, para Nabi dan Rasul pun yang diutus Allah untuk mengurus suatu kaum kesemuanya
mereka adalah pria, bukan berjenis kelamin wanita. Inilah yang kemudian menjadi
dasar bahwa dalam pemerintahan Islam yang nanti menjadi pemimpin atau mengurus
umat ialah pria. Akan tetapi, bukan berarti dalam hal ini perempuan dinomor
duakan atau disingkirkan secara hina. Singkatnya, wanita memiliki kodrat untuk
mengurus anak dan rumah tangganya. Dari situlah kemudian wanita memiliki peran
penting dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya serta memanaje
persoalan di dalam rumahnya.
Namun,
landasan yang jelas bahwa dijadikannya pria menjadi pemimpin ketimbang wanita
bahwa hal itu semata-mata aturan dari Allah Swt.
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. ...”
(TQS. An-Nisaa: 34)
Selain dari firman Allah
tersebut, adapula hadits yang menjelaskan masalah kepemimpinan jika diserahkan
kepada wanita.
“Tatkala
ada berita sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia
mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau
shallallahu’alaihi wa sallam lantas bersabda, “Suatu kaum itu tidak akan
bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.”” (HR.
Bukhari no. 4425)
Membahas kepemimpinan, tentunya
kita sebagai seorang muslim tak bisa dilepaskan keberadaannya terhadap
Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam berkehidupan. Bahwa, jauh hari saat proses penciptaan
Nabi Adam AS. oleh Allah SWT., kelak sosok Adam AS. suatu saat diamanahkan
Allah untuk mengemban tugas sebagai khalifah (pemimpin, penguasa) di bumi. Allah
berfirman di dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Dalam interaksi antara Allah dan para malaikat di
atas, tergambar jelas bahwa ketika itu para malaikat sangat khawatir apabila
manusia diciptakan kemudian suatu saat nanti mereka malah berbuat kerusakan dan
saling menumpahkan darah. Inilah yang kemudian harus kita kritisi atau ubah
terkait adanya pemimpin-pemimpin yang berwatak kejam dan suka mendzalimi
rakyatnya. Pada hakikatnya, manusia ditakdirkan oleh Allah di bumi semata-mata
untuk beribadah kepada-Nya, bukan untuk saling unjuk gigi dan pamer kekuatan
atau kekuasaan satu sama lain.
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepadaku.” (TQS. Ad-Dzariyat: 56)
Perlunya
membahas masalah kepemimpinan tidak lain adalah agar generasi muda dari waktu
ke waktu paham bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang harta, jabatan dan
kekuasaan. Melainkan menjadi pemimpin sejatinya seseorang itu sedang mengemban
amanah yang begitu berat sekali. Oleh karenanya, agar beban tersebut terasa
ringan di pundak, perlunya kita jauh-jauh hari mempersiapkan atau mematangkan keilmuan
sebagai power atau kekuatan dalam mengemban amanah tersebut. Tentunya,
kita sebagai seorang muslim harus menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
pedoman kemanapun kita melangkah. Sekali lagi, karena Al-Qur’an adalah kitab
suci umat Islam yang berisi petunjuk hidup.
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (TQS. Al-Baqarah: 2)
Setiap orang pada dasarnya dapat menjadi
pemimpin, entah itu pemimpin dalam diri sendiri seperti memimpin hawa nafsunya,
menjadi pemimpin saat safar[1],
menjadi ketua OSIS/ROHIS di sekolah misalnya, memiliki jabatan sebagai
walikota, gubernur, hingga mengurus suatu negeri yang begitu luAs.
Sebenarnya, dalam masalah kepemimpinan, wanita
juga diperbolehkan menjadi pemimpin di antara yang lain. Tapi, memimpin disini
ialah dengan syarat dan ketentuan yang berlaku yang telah diatur sebagaimana
mestinya. Hal ini mengacu kepada pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam situs
tajrih.or.id bahwa menurutnya perempuan boleh menerima jabatan sebagai pemimpin atau memegang kendali
kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan
berijtihad, pendidikan, administrasi dan sejenisnya. (al-Qaradhawi: 529-530)
Namun dalam urusan lain seperti
halnya menjabat sebagai seorang Khalifah, menurut Syaikh Taqiyudin An-Nabhani
bahwa pengangkatan Khalifah sebagai kepala negara, dianggap sah jika memenuhi
tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan
memiliki kemampuan. (An-Nabhani, Taqiyudin: 161)
Apabila masalah kepemimpinan banyak diemban oleh
kaum Adam, maka perlulah kita belajar dari kisah kepemimpinan para Nabi dalam
menjalankan amanah yang diberikan Allah SWT. kepada mereka. Bahwasanya, dengan
mempelajari hal itu setidaknya kita memiliki gambaran atau pijakan bagaimana
para kekasih Allah tersebut menggunakan akal pikiran yang telah dikaruniakan
Sang Pencipta kepada mereka serta bagaimana pula mereka bersikap untuk dirinya
sendiri maupun untuk orang-orang di sekitarnya/kaumnya sebagai pemimpin di
antara yang lain. Karena itulah agar lebih jelas mari kita sama-sama untuk
menyimak rangkaian kepemimpinan Nabi sebagai berikut.
1.
Nabi Adam AS. (Pemimpin yang Berani Mengakui
Kesalahan)
Siapa sangka bahwa Adam AS. yang kala itu berdiam
di surganya Allah SWT. kemudian harus diturunkan ke bumi sebagai bentuk hukuman
karena memakan buah Khuldi yang dilarang-Nya. Di tempat yang tadinya serba ada
dan serba mudah itu kemudian Adam AS. harus bersikeras serta bersusah payah
memenuhi kebutuhan dirinya di bumi yang terbentang luas dari Timur ke Barat.
Tak hanya itu, Adam AS. juga kemudian
diperintahkan Allah untuk mengurus bumi beserta isinya dan memimpin permulaan
dari sebuah peradaban di bumi Allah SWT. bersama dengan istrinya yakni Siti
Hawa yang kemudian melahirkan berbagai generasi setelahnya.
Namun, dalam kisah Nabi Adam AS. ada hal yang
patut dijadikan pelajaran tatkala Nabi Adam beserta istrinya kala itu mengakui
kesalahan yang diperbuatnya di hadapan Allah SWT. bahwa saat itu Adam AS.
beserta istrinya yakni Siti Hawa terbujuk oleh rayuan iblis yang kemudian
keduanya memakan buah yang dilarang Allah yakni buah Khuldi.
Kemudian, karena merasa bersalah karena telah
membuat Allah murka kepada mereka, Adam AS. beserta Siti Hawa lantas berdoa
meminta ampunan kepada Allah SWT. Kisah ini kemudian diabadikan di dalam
Al-Qur’an yang tentunya harus dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua
terutama bekal sebagai seorang pemimpin.
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (TQS.
Al-A’raf: 23)
Perlu diketahui, Adam AS. yang saat itu telah
menjadi pemimpin bagi istrinya dan kelak akan menjadi seorang Khalifah di bumi
mengakui segala kesalahan yang telah diperbuatnya akibat dari hawa nafsu yang
tergiring oleh bujuk rayu iblis yang membencinya. Apabilan kisah Nabi Adam AS.
ini dikorelasikan terhadap kepemimpinan zaman sekarang, banyak sekali pemimpin
yang sangat enggan atau gengsi untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapan
rakyatnya. Adapun mereka akan mengakuinya yaitu setelah mereka merasa terpaksa
setelah adanya bukti-bukti kuat dari penyidikan yang telah dilakukan oleh
aparat hukum kepadanya.
Inilah poin penting kita dalam mempelajari
bagaimana kepemimpinan para Nabi saat itu, hal ini semata-mata agar kita
sebagai pemegang amanah tersebut tidak salah arah bahkan terjerumus ke dalam
nerakanya Allah SWT. yang begitu pedih dan siapapun yang memasukinya merupakan
orang-orang yang hina dan merugi. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak
mengakui segala kesalahan yang diperbuatnya bahkan berusaha menutup-nutupi
kesalahannya di hadapan kaum yang dipimpinnya alias dzalim.
2.
Nabi Luth AS. (Pemimpin yang Mengutamakan Ilmu
dan Hikmah)
Kondisi yang dialami utusan Allah kali ini cukup
berat dalam membina masyarakatnya kala itu. Di tengah bobroknya masyarakat dari
pergaulan hingga budaya setempat seperti mengingkari adanya Allah sebagai Tuhan
dan menyukai hubungan dengan sesama jenis yang benar-benar diluar fitrah
manusia, kaum Nabi Luth ini sebagian besar tetap membangkang atas arahan Nabi
Luth walau mereka ini notabenenya adalah manusia yang telah dikaruniai oleh
Allah SWT. akal pikiran yang seharusnya berbeda dengan perilaku hewan. Bahkan,
ada riwayat yang menyebutkan bahwa kaum Luth ini bisa dibilang lebih rendah
derajatnya dari binatang karena perbuatannya itu
Dari kepemimpinan Nabi Luth ini, dapat kita ambil
pelajaran bahwa pemimpin yang baik ialah pemimpin yang dapat mengubah masyarakat
yang mulanya krisis moral dan budaya menjadi gemilang atas kebijakan yang
diterapkannya. Lalu, atas dasar keilmuan yang dimilikinya pula kemudian dapat
berbuah kehidupan yang didamba-dambakan yang tidak sekedar menonjolkan hawa
nafsu belaka sebagai pondasi dalam menjalankan aktivitasnya.
Dalam kisah ini, kaum Nabi Luth sejatinya
memiliki sikap yang serba menerima budaya dan hal-hal yang datang dari luar.
Karena itulah kemudian budaya masyarakatnya dapat dibilang rusak ibarat
“serangan fajar” yang datang di pagi hari dan kita tak dapat mengelak sama
sekali. Begitu pun halnya sebagai pemimpin, kita tidak boleh sembarangan
menerima segala macam bantuan dari luar demi keberlangsungan dan ketentraman
negeri yang dipimpinnya.
Hal itu senada terhadap apa yang dijelaskan oleh
Syaikh Taqiyudin An-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Peraturan Hidup Dalam
Islam, Bab Rancangan Undang-Undang Dasar dengan sub-judul Sistem Ekonomi, di
dalamnya tertulis bahwa, “Investasi dan pengelolaan modal asing di seluruh
negera tidak diperbolehkan, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada
pihak asing.”
Maksudnya dari pernyataan Syaikh Taqiyudin
An-Nabhani tersebut ialah apabila Islam ditegakkan dan mengatur sistem ekonomi
di ranah pemerintahan, tidak boleh ada campur tangan asing serta kepentingan
individu maupun golongan yang berkuasa atas penerapan kebjikannya. Tapi,
semuanya dikembalikan sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dll. Mengatur
persoalan-persoalan itu.
3.
Nabi Ismail AS. (Pemimpin yang Tepat Janji)
Ciri khas pemimpin yang baik berikutnya ialah
jika berbicara ia menepati janjinya. Kemudian, jika ia merencanakan suatu program
untuk negerinya, ia akan memprioritaskannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat
atau pro terhadap rakyatnya. Jika sikap yang demikian itu terwujud, maka rakyat
senantiasa akan setia mendukungnya serta si pemimpin tersebut akan dilihat baik
kredibilitasnya di mata rakyatnya.
Namun, masalah yang kerap terjadi di era sekarang
ini yaitu banyaknya pemimpin-pemimpin yang mengumbar janji dan tebar pesona di
hadapan rakyat, khususnya saat menjelang masa kampanye. Banyak sekali yang
menjadikan pencitraan sebagai bahan “obralan” untuk mempengaruhi masyarakat
terutama ialah masyarakat bawah yang selalu dijadikan sasaran oleh mereka. Dengan
dalih membela rakyat, padahal sejatinya mereka membuat program-program tersebut
sebatas pemanis ibarat fatamorgana agar masyarakat memberikan suara kepada
mereka.
Padahal, dalam ajaran Islam, janji merupakan
sesuatu yang wajib dipenuhi. Apabila ada seseorang yang telah berjanji dan
belum melaksanakan janjinya, berarti dirinya memiliki hutang dan wajib
melunaskannya dengan cara menunaikan janji tersebut. Apabila tidak, maka
dirinya termasuk ke dalam orang-orang munafik yang apabila berjanji mereka
ingkar.
Nabi Ismail AS. yakni putra dari Nabi Ibrahim AS.
merupakan sosok manusia yang Allah utus dengan ciri khasnya yakni sebagai
pemimpin yang selalu menepati janji. Menurut Imam Al-Qurthubi, Nabi Ismail AS.
memiliki kemuliaan dan kehormatan karena dikenal sebagai sosok yang menepati
janji. Walaupun hal itu juga terdapat pada Nabi-nabi lainnya.
Hal senada pun dinyatakan oleh Imam Asy-Syaukani,
ia berkata bahwa walaupun sifat ini ada pada Nabi-nabi lain, tetapi yang paling
menonjol hanya ada pada diri Nabi Ismail AS. Hal ini bukan berarti Nabi-nabi
yang lain mengingkari janjinya, tapi dijelaskan bahwa Nabi Ismail AS. memiliki
tingkat kesungguhan serta tidak pernah melanggar janjinya baik kepada Tuhan
seperti bernazar maupun janji kepada sesama manusia.
Hal menarik dari sosok Nabi Ismail AS. bahwa
sikap yang demikian itu telah tertanam pada diri Nabi Ismail AS. semenjak
usianya masih kecil. Terutama semenjak adanya seruan Allah kepada ayahnya yakni
Nabi Ibrahim AS. untuk menyembelih anaknya yakni Ismail AS. Kemudian, respon
Nabi Ismail AS. tatkala mendengar seruan dari ayahnya itu sama sekali tidak
membuat keimanannya goyah bahkan lari terbirit-birit, melainkan dirinya
meyakinkan kembali ayahnya bahwa hal tersebut semata-mata untuk menjalankan
perintah Allah SWT. sehingga Nabi Ismail AS. rela disembelih atas perintah
Allah.
Lalu, momen ayah dan anak ini kemudian menjadi awal
mula adanya perintah berqurban, bahwa setelah Nabi Ibrahim AS. menjalankan
amanah dari Allah walau mulanya terasa berat, tapi karena itu merupakan
perintah Allah, maka ia berusaha ikhlas untuk menyembelih anak yang dicintainya
itu semata-mata hanya untuk Allah SWT.
Kemudian, hal unik terjadi, bahwa apa yang
disembelih Nabi Ibrahim AS. kala itu, seketika anaknya tersebut berubah menjadi
seekor Kambing. Lalu, kemanakah anaknya? Dirinya ada di samping Nabi Ibrahim AS.
dengan keadaan sehat wal ‘afiat. Begitulah kuasa Allah SWT. terutama apabila
kita ringan dalam menjalankan perintah-Nya, niscaya kita akan selamat.
4.
Nabi Ayyub AS. (Pemimpin yang Konsisten Memegang
Sumpah)
Sosok Nabi Ayyub AS. adalah sosok yang patut
ditiru tatkala istrinya berbuat salah sehingga ia harus menunaikan sumpahnya
jikalau istrinya bersalah. Walaupun dirinya sangat sayang dan cinta
sampai-sampai tidak tega tatkala memukul istrinya sebagai sanksi atas
kesalahannya. Namun, karena ia konsisten dalam memegang sumpah, maka
ditunaikanlah sumpahnya tersebut seperti firman Allah berikut ini:
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat rumput, maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya, kami
dapati Ayyub seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia
amat taat kepada Tuhannya.” (TQS. Shad: 44)
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah
kepemimpinan Nabi Ayyub AS. adalah tentang wajibnya memegang komitmen/prinsip,
jangan bermain-main terhadap sumpah yang telah terucap, dan apabila melanggar
berarti siap dijatuhi sanksi/hukuman tanpa menyembunyikan diri apalagi lari
terhadapnya. Terlebih kesalahannya malah dilempar kepada orang lain sehingga
timbul fitnah hingga adu domba.
Masalah lainnya yang kerap kali muncul ketika
pelantikan pemimpin ialah pengucapan ikrar/sumpah yang seringkali dianggap
sebagai formalitas/seremonial, padahal lafadz sumpah tersebut memiliki makna
yang sangat dalam dan apabila telah diucapkan oleh seseorang berarti dirinya siap
menerima konsekuensi hukum apabila melanggar sumpahnya. Dalam arti lain
seseorang itu wajib mengemban tanggungjawab atas sumpah yang dilakukannya
terlebih disaksikan oleh masyarakat banyak.
5.
Nabi Daud AS.
(Pemimpin yang Berhasil Menyatukan Kekuatan dan Hukum)
Nabi Daud AS. memiliki keahlian dalam membuat
baju besi yang kemudian disimbolkan sebagai kekuatan. Sedangkan keberhasilannya
dalam menyeimbangkan kekuatan dan hukum tertera dalam firman Allah sebagai
berikut.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
Khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (TQS. Shad: 26)
Bahwasanya,
jika kekuatan tidak diiringi dengan penegakkan supremasi hukum, hal itu akan
mudah mengantarkan seorang pemimpin untuk bertindak diktator karena sang
pemimpin dianggap sebagai sosok “dewa” yang kebal dari hukum. Sebaliknya,
supremasi hukum tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ditopang oleh
kekuatan yang memadai karena akan memberikan peluang kepada setiap orang untuk
mudah melanggar hukum.
Inilah
pelajaran terhadap calon-calon pemimpin berikutnya di kemudian hari agar dapat
berkaca bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang harta, jabatan dan kekuasaan
belaka. Kita sebagai seorang muslim wajib mengkaji bagaimana Islam mengatur
semua itu. Karena tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan
kelak kita akan kembali lagi kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala
hal yang pernah kita perbuat semasa hidup di dunia.
Kisah
kepemimpinan Nabi Daud AS. ini pula mengajarkan agar seorang pemimpin dapat
berlaku adil dan tidak menyiksa rakyatnya dengan segala kebijakannya. Lalu,
pemimpin pun diharuskan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengemban tonggak
kepemimpinannya itu. Karena kekuatannya kelak suatu saat nanti dibutuhkan dan
dapat mengusir penjajahan dari segala sudut yang dapat merusak kedaulatan
negerinya serta dapat menjaga rakyat yang dicintainya.
Pemimpin
tidak boleh “bertangan besi” terhadap rakyat yang dipimpinnya dan jikalau
dirinya salah, maka di hadapan hukum ia tidaklah berbeda dengan rakyatnya atau
derajatnya sama di hadapan hukum. Jadi, pemimpin tidak boleh memiliki hak
istimewa melainkan dikembalikan terhadap keadilan hukum yang telah disepakati
bersama.
6.
Nabi Muhammad Saw.
Menurut Achyar Zein (2008: 149), bahwa berhasil
tidaknya kepemimpinan seseorang dapat ditandai dengan sejauh mana nilai-nilai
kasih sayang yang ditanamkannya untuk rakyat. Nabiyullah Muhammad SAW. adalah pemimpin
yang memiliki jiwa kasih sayang. Barometer bahwa beliau memiliki jiwa kasih
sayang ialah selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada diri dan
keluarganya. Selain itu, Qur’an dan Sunnah yang dibawanya pun kerapkali
dijadikan pijakan dalam mengarungi kehidupan agar umatnya atau rakyat yang
dipimpinnya dapat bahagia di dunia dan selamat di akhirat.
Apabila seorang pemimpin tidak memiliki kasih
sayang maka dirinya akan membebankan penderitaan kepada rakyatnya seperti
maraknya kasus korupsi, memaksakan pajak yang tinggi, membiarkan kemiskinan
terjadi, acuh terhadap aspirasi rakyat, membuat kebijakan sewenang-wenang, dll.
Perlu kita ketahui bersama bahwa Islam sebagai
agama begitu banyak mengajarkan nilai-nilai kasih sayang bukan kepada
pemeluknya saja melainkan kepada semua makhluk. Bahkan lebih, Islam bukan
sebatas agama yang hanya mengatur urusan ibadah semata melainkan juga mengatur
bagaimana kita seharusnya berjual-beli, bergaul, hingga bernegara.
Di belahan bumi Barat sana, banyak yang alergi
terhadap kehadiran Islam atau sering diistilahkan dengan kata Islamophobia.
Orang-orang Barat menggambarkan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad adalah
Al-Qur’an di tangan kanan dan Pedang di tangan kiri. Dari situlah kemudian
Islam selalu diidentikkan dengan istilah terorisme. Padahal, jika mereka ingin
menelaah, Al-Qur’an diartikan sebagai pedoman dalam bernegara sedangkan pedang
dilambangkan sebagai ketegasan.
Memang dalam sejarahnya Islam kerapkali melakukan
peperangan atau jihad. Akan tetapi, peperangan yang dilakukan Islam tidaklah
se-sadis yang dibayangkan oleh orang-orang Barat sana. Bahwasanya peperangan
dalam Islam tetap menghargai yang namanya aturan seperti tidak boleh membunuh
wanita, anak-anak, para pendeta yang berdiam di tempat ibadah, tidak boleh
merusak pohon, tanaman, bangunan, dll.
Bayangkan, apabila perang yang dipimpin oleh
baginda Rasulullah dibandingkan dengan peperangan seperti Perang Dunia, jelas
banyak sekali perbedaannya. Justru perang dunialah yang kemudian jelas-jelas
melakukan teror dan merusak alam. Kita bisa ambil contohnya dari pengeboman
kota penting di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki yang dibombardir oleh
Amerika dan sekutunya, bukankah itu bisa dikatakan teror? Bukankah pengeboman
itu merusak alam? Bukankah atas tragedi itu bergelimpangan mayat yang tak kenal
mana wanita, orang tua renta, bahkan anak-anak pun kerap jadi korban?
Mari berpikir, jika Islam identik dengan kata
“teroris”, sebenarnya kata “teroris” itu sendiri sampai detik ini masih rancu
dan seringkali menjadi tolak ukur kepentingan semata.
Contoh lain bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad
adalah rahmat bagi seluruh alam ialah pernah berjayanya Islam diranah
pemerintahan selama berabad-adab lamanya dan daerah kekuasaannya mencapai
hingga 2/3 dunia. Bayangkan, sosok Muhammad yang dahulu ditentang habis-habisan
oleh kafir Quraisy bahkan beliau pun sempat mendapatkan penghinaan, pelecehan,
dan cobaan-cobaan lainnya bersama para pengikutnya ketika berdakwah, dihari
lain semuanya berbanding terbalik.
Inilah contoh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
yang memberi pelajaran kepada kita agar para pemimpin tidak hanya bisa dan
merdu membaca Qur’an saja, tapi juga dapat menebar kasih sayang kepada
rakyatnya dengan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan Hadits serta mengajak rakyatnya agar senantiasa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan inilah kepemimpinan baginda Rasul yang kita
cintai ini dapat dekat dengan rakyatnya, bahkan dicintai oleh rakyatnya
sehingga ketika beliau dinyatakan wafat banyak orang merasa kehilangan atas
kepergiannya.
Nilai-nilai dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
lainnya adalah menduduki jabatan bukan untuk memperoleh kepetingan,
popularitas, harta, dsb. Melainkan karena ingin menuntun segenap umat manusia
yang hidup di bumi Allah agar enggan alergi terhadap syariat Islam serta
mengajak mereka agar ikhlas dengan penerapan syariat Islam dan amu diatur
serba-serbinya oleh Islam. Karena Islam merupakan agama yang sempurna, maka
dengan diterapkannya Islam dalam kehidupan berakibat rakyat menjadi makmur,
sejahtera, dan menjadi kebahagiaan bagi siapapun yang dapat menerapkannya.
Semoga dengan memahami kisah para Nabi di atas
para pembaca dapat terinspirasi dan termotivasi agar selalu mengembalikan
sebuah tampuk kepemimpinan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan
berlandaskan hawa nafsu. Sehingga kepemimpinan di depan nanti dapat berkah baik
di dunia maupun di akhirat. Diharapkan kelak dengan belajar terhadap kisah
kepemimpinan para Nabi kelak nanti seorang pemimpin dapat bersinergi dengan
rakyat yang dipimpinnya sehingga terciptalah lingkungan yang harmonis satu sama
lain dalam beribada kepada Sang Illahi.
Sumber Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2009. Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia.
An-Nabhani, Taqiyudin. Peraturan Hidup Dalam
Islam. 2014. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.
Zein,
Achyar. Prophetic Leadership Kepemimpinan Para Nabi. 2008. Bandung: Madani
Prima.
ConversionConversion EmoticonEmoticon