Prophetic Leadership, Kepemimpinan Para Nabi

(Sumber Foto: Google)

Oleh: Guntur Mahesa Purwanto

Bagi para pria, memimpin adalah suatu hal yang akan diembannya suatu saat kelak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “memimpin” merupakan kata dasar dari “pimpin”. Memimpin berarti “mengetuai” atau “mengepalai”. Sedangkan “pemimpin” adalah orang yang memimpin. Dari penjelasan arti kata tersebut bahwasanya pria dikodratkan oleh Allah Swt. untuk memimpin suatu kaum/memimpin suatu negeri atau minimalnya dirinya dapat menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.

Selain itu, para Nabi dan Rasul pun yang diutus Allah untuk mengurus suatu kaum kesemuanya mereka adalah pria, bukan berjenis kelamin wanita. Inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa dalam pemerintahan Islam yang nanti menjadi pemimpin atau mengurus umat ialah pria. Akan tetapi, bukan berarti dalam hal ini perempuan dinomor duakan atau disingkirkan secara hina. Singkatnya, wanita memiliki kodrat untuk mengurus anak dan rumah tangganya. Dari situlah kemudian wanita memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya serta memanaje persoalan di dalam rumahnya.

Namun, landasan yang jelas bahwa dijadikannya pria menjadi pemimpin ketimbang wanita bahwa hal itu semata-mata aturan dari Allah Swt.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ...(TQS. An-Nisaa: 34)

Selain dari firman Allah tersebut, adapula hadits yang menjelaskan masalah kepemimpinan jika diserahkan kepada wanita.

“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu’alaihi wa sallam lantas bersabda, “Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.”” (HR. Bukhari no. 4425)

Membahas kepemimpinan, tentunya kita sebagai seorang muslim tak bisa dilepaskan keberadaannya terhadap Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam berkehidupan. Bahwa, jauh hari saat proses penciptaan Nabi Adam AS. oleh Allah SWT., kelak sosok Adam AS. suatu saat diamanahkan Allah untuk mengemban tugas sebagai khalifah (pemimpin, penguasa) di bumi. Allah berfirman di dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dalam interaksi antara Allah dan para malaikat di atas, tergambar jelas bahwa ketika itu para malaikat sangat khawatir apabila manusia diciptakan kemudian suatu saat nanti mereka malah berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Inilah yang kemudian harus kita kritisi atau ubah terkait adanya pemimpin-pemimpin yang berwatak kejam dan suka mendzalimi rakyatnya. Pada hakikatnya, manusia ditakdirkan oleh Allah di bumi semata-mata untuk beribadah kepada-Nya, bukan untuk saling unjuk gigi dan pamer kekuatan atau kekuasaan satu sama lain.

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku.” (TQS. Ad-Dzariyat: 56)

Perlunya membahas masalah kepemimpinan tidak lain adalah agar generasi muda dari waktu ke waktu paham bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang harta, jabatan dan kekuasaan. Melainkan menjadi pemimpin sejatinya seseorang itu sedang mengemban amanah yang begitu berat sekali. Oleh karenanya, agar beban tersebut terasa ringan di pundak, perlunya kita jauh-jauh hari mempersiapkan atau mematangkan keilmuan sebagai power atau kekuatan dalam mengemban amanah tersebut. Tentunya, kita sebagai seorang muslim harus menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman kemanapun kita melangkah. Sekali lagi, karena Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi petunjuk hidup.

“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (TQS. Al-Baqarah: 2)

Setiap orang pada dasarnya dapat menjadi pemimpin, entah itu pemimpin dalam diri sendiri seperti memimpin hawa nafsunya, menjadi pemimpin saat safar[1], menjadi ketua OSIS/ROHIS di sekolah misalnya, memiliki jabatan sebagai walikota, gubernur, hingga mengurus suatu negeri yang begitu luAs.

Sebenarnya, dalam masalah kepemimpinan, wanita juga diperbolehkan menjadi pemimpin di antara yang lain. Tapi, memimpin disini ialah dengan syarat dan ketentuan yang berlaku yang telah diatur sebagaimana mestinya. Hal ini mengacu kepada pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam situs tajrih.or.id bahwa menurutnya perempuan boleh menerima jabatan sebagai pemimpin atau memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan, administrasi dan sejenisnya. (al-Qaradhawi: 529-530)

Namun dalam urusan lain seperti halnya menjabat sebagai seorang Khalifah, menurut Syaikh Taqiyudin An-Nabhani bahwa pengangkatan Khalifah sebagai kepala negara, dianggap sah jika memenuhi tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan. (An-Nabhani, Taqiyudin: 161)

Apabila masalah kepemimpinan banyak diemban oleh kaum Adam, maka perlulah kita belajar dari kisah kepemimpinan para Nabi dalam menjalankan amanah yang diberikan Allah SWT. kepada mereka. Bahwasanya, dengan mempelajari hal itu setidaknya kita memiliki gambaran atau pijakan bagaimana para kekasih Allah tersebut menggunakan akal pikiran yang telah dikaruniakan Sang Pencipta kepada mereka serta bagaimana pula mereka bersikap untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang di sekitarnya/kaumnya sebagai pemimpin di antara yang lain. Karena itulah agar lebih jelas mari kita sama-sama untuk menyimak rangkaian kepemimpinan Nabi sebagai berikut.

1.    Nabi Adam AS. (Pemimpin yang Berani Mengakui Kesalahan)

Siapa sangka bahwa Adam AS. yang kala itu berdiam di surganya Allah SWT. kemudian harus diturunkan ke bumi sebagai bentuk hukuman karena memakan buah Khuldi yang dilarang-Nya. Di tempat yang tadinya serba ada dan serba mudah itu kemudian Adam AS. harus bersikeras serta bersusah payah memenuhi kebutuhan dirinya di bumi yang terbentang luas dari Timur ke Barat.

Tak hanya itu, Adam AS. juga kemudian diperintahkan Allah untuk mengurus bumi beserta isinya dan memimpin permulaan dari sebuah peradaban di bumi Allah SWT. bersama dengan istrinya yakni Siti Hawa yang kemudian melahirkan berbagai generasi setelahnya.

Namun, dalam kisah Nabi Adam AS. ada hal yang patut dijadikan pelajaran tatkala Nabi Adam beserta istrinya kala itu mengakui kesalahan yang diperbuatnya di hadapan Allah SWT. bahwa saat itu Adam AS. beserta istrinya yakni Siti Hawa terbujuk oleh rayuan iblis yang kemudian keduanya memakan buah yang dilarang Allah yakni buah Khuldi.

Kemudian, karena merasa bersalah karena telah membuat Allah murka kepada mereka, Adam AS. beserta Siti Hawa lantas berdoa meminta ampunan kepada Allah SWT. Kisah ini kemudian diabadikan di dalam Al-Qur’an yang tentunya harus dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua terutama bekal sebagai seorang pemimpin.

“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (TQS. Al-A’raf: 23)

Perlu diketahui, Adam AS. yang saat itu telah menjadi pemimpin bagi istrinya dan kelak akan menjadi seorang Khalifah di bumi mengakui segala kesalahan yang telah diperbuatnya akibat dari hawa nafsu yang tergiring oleh bujuk rayu iblis yang membencinya. Apabilan kisah Nabi Adam AS. ini dikorelasikan terhadap kepemimpinan zaman sekarang, banyak sekali pemimpin yang sangat enggan atau gengsi untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapan rakyatnya. Adapun mereka akan mengakuinya yaitu setelah mereka merasa terpaksa setelah adanya bukti-bukti kuat dari penyidikan yang telah dilakukan oleh aparat hukum kepadanya.

Inilah poin penting kita dalam mempelajari bagaimana kepemimpinan para Nabi saat itu, hal ini semata-mata agar kita sebagai pemegang amanah tersebut tidak salah arah bahkan terjerumus ke dalam nerakanya Allah SWT. yang begitu pedih dan siapapun yang memasukinya merupakan orang-orang yang hina dan merugi. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mengakui segala kesalahan yang diperbuatnya bahkan berusaha menutup-nutupi kesalahannya di hadapan kaum yang dipimpinnya alias dzalim.

2.    Nabi Luth AS. (Pemimpin yang Mengutamakan Ilmu dan Hikmah)

Kondisi yang dialami utusan Allah kali ini cukup berat dalam membina masyarakatnya kala itu. Di tengah bobroknya masyarakat dari pergaulan hingga budaya setempat seperti mengingkari adanya Allah sebagai Tuhan dan menyukai hubungan dengan sesama jenis yang benar-benar diluar fitrah manusia, kaum Nabi Luth ini sebagian besar tetap membangkang atas arahan Nabi Luth walau mereka ini notabenenya adalah manusia yang telah dikaruniai oleh Allah SWT. akal pikiran yang seharusnya berbeda dengan perilaku hewan. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kaum Luth ini bisa dibilang lebih rendah derajatnya dari binatang karena perbuatannya itu

Dari kepemimpinan Nabi Luth ini, dapat kita ambil pelajaran bahwa pemimpin yang baik ialah pemimpin yang dapat mengubah masyarakat yang mulanya krisis moral dan budaya menjadi gemilang atas kebijakan yang diterapkannya. Lalu, atas dasar keilmuan yang dimilikinya pula kemudian dapat berbuah kehidupan yang didamba-dambakan yang tidak sekedar menonjolkan hawa nafsu belaka sebagai pondasi dalam menjalankan aktivitasnya.

Dalam kisah ini, kaum Nabi Luth sejatinya memiliki sikap yang serba menerima budaya dan hal-hal yang datang dari luar. Karena itulah kemudian budaya masyarakatnya dapat dibilang rusak ibarat “serangan fajar” yang datang di pagi hari dan kita tak dapat mengelak sama sekali. Begitu pun halnya sebagai pemimpin, kita tidak boleh sembarangan menerima segala macam bantuan dari luar demi keberlangsungan dan ketentraman negeri yang dipimpinnya.

Hal itu senada terhadap apa yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyudin An-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Peraturan Hidup Dalam Islam, Bab Rancangan Undang-Undang Dasar dengan sub-judul Sistem Ekonomi, di dalamnya tertulis bahwa, “Investasi dan pengelolaan modal asing di seluruh negera tidak diperbolehkan, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada pihak asing.”

Maksudnya dari pernyataan Syaikh Taqiyudin An-Nabhani tersebut ialah apabila Islam ditegakkan dan mengatur sistem ekonomi di ranah pemerintahan, tidak boleh ada campur tangan asing serta kepentingan individu maupun golongan yang berkuasa atas penerapan kebjikannya. Tapi, semuanya dikembalikan sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dll. Mengatur persoalan-persoalan itu.

3.    Nabi Ismail AS. (Pemimpin yang Tepat Janji)

Ciri khas pemimpin yang baik berikutnya ialah jika berbicara ia menepati janjinya. Kemudian, jika ia merencanakan suatu program untuk negerinya, ia akan memprioritaskannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat atau pro terhadap rakyatnya. Jika sikap yang demikian itu terwujud, maka rakyat senantiasa akan setia mendukungnya serta si pemimpin tersebut akan dilihat baik kredibilitasnya di mata rakyatnya.

Namun, masalah yang kerap terjadi di era sekarang ini yaitu banyaknya pemimpin-pemimpin yang mengumbar janji dan tebar pesona di hadapan rakyat, khususnya saat menjelang masa kampanye. Banyak sekali yang menjadikan pencitraan sebagai bahan “obralan” untuk mempengaruhi masyarakat terutama ialah masyarakat bawah yang selalu dijadikan sasaran oleh mereka. Dengan dalih membela rakyat, padahal sejatinya mereka membuat program-program tersebut sebatas pemanis ibarat fatamorgana agar masyarakat memberikan suara kepada mereka.

Padahal, dalam ajaran Islam, janji merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi. Apabila ada seseorang yang telah berjanji dan belum melaksanakan janjinya, berarti dirinya memiliki hutang dan wajib melunaskannya dengan cara menunaikan janji tersebut. Apabila tidak, maka dirinya termasuk ke dalam orang-orang munafik yang apabila berjanji mereka ingkar.

Nabi Ismail AS. yakni putra dari Nabi Ibrahim AS. merupakan sosok manusia yang Allah utus dengan ciri khasnya yakni sebagai pemimpin yang selalu menepati janji. Menurut Imam Al-Qurthubi, Nabi Ismail AS. memiliki kemuliaan dan kehormatan karena dikenal sebagai sosok yang menepati janji. Walaupun hal itu juga terdapat pada Nabi-nabi lainnya.

Hal senada pun dinyatakan oleh Imam Asy-Syaukani, ia berkata bahwa walaupun sifat ini ada pada Nabi-nabi lain, tetapi yang paling menonjol hanya ada pada diri Nabi Ismail AS. Hal ini bukan berarti Nabi-nabi yang lain mengingkari janjinya, tapi dijelaskan bahwa Nabi Ismail AS. memiliki tingkat kesungguhan serta tidak pernah melanggar janjinya baik kepada Tuhan seperti bernazar maupun janji kepada sesama manusia.

Hal menarik dari sosok Nabi Ismail AS. bahwa sikap yang demikian itu telah tertanam pada diri Nabi Ismail AS. semenjak usianya masih kecil. Terutama semenjak adanya seruan Allah kepada ayahnya yakni Nabi Ibrahim AS. untuk menyembelih anaknya yakni Ismail AS. Kemudian, respon Nabi Ismail AS. tatkala mendengar seruan dari ayahnya itu sama sekali tidak membuat keimanannya goyah bahkan lari terbirit-birit, melainkan dirinya meyakinkan kembali ayahnya bahwa hal tersebut semata-mata untuk menjalankan perintah Allah SWT. sehingga Nabi Ismail AS. rela disembelih atas perintah Allah.

Lalu, momen ayah dan anak ini kemudian menjadi awal mula adanya perintah berqurban, bahwa setelah Nabi Ibrahim AS. menjalankan amanah dari Allah walau mulanya terasa berat, tapi karena itu merupakan perintah Allah, maka ia berusaha ikhlas untuk menyembelih anak yang dicintainya itu semata-mata hanya untuk Allah SWT.

Kemudian, hal unik terjadi, bahwa apa yang disembelih Nabi Ibrahim AS. kala itu, seketika anaknya tersebut berubah menjadi seekor Kambing. Lalu, kemanakah anaknya? Dirinya ada di samping Nabi Ibrahim AS. dengan keadaan sehat wal ‘afiat. Begitulah kuasa Allah SWT. terutama apabila kita ringan dalam menjalankan perintah-Nya, niscaya kita akan selamat.

4.    Nabi Ayyub AS. (Pemimpin yang Konsisten Memegang Sumpah)

Sosok Nabi Ayyub AS. adalah sosok yang patut ditiru tatkala istrinya berbuat salah sehingga ia harus menunaikan sumpahnya jikalau istrinya bersalah. Walaupun dirinya sangat sayang dan cinta sampai-sampai tidak tega tatkala memukul istrinya sebagai sanksi atas kesalahannya. Namun, karena ia konsisten dalam memegang sumpah, maka ditunaikanlah sumpahnya tersebut seperti firman Allah berikut ini:

“Dan ambillah dengan tanganmu seikat rumput, maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya, kami dapati Ayyub seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat kepada Tuhannya.” (TQS. Shad: 44)

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah kepemimpinan Nabi Ayyub AS. adalah tentang wajibnya memegang komitmen/prinsip, jangan bermain-main terhadap sumpah yang telah terucap, dan apabila melanggar berarti siap dijatuhi sanksi/hukuman tanpa menyembunyikan diri apalagi lari terhadapnya. Terlebih kesalahannya malah dilempar kepada orang lain sehingga timbul fitnah hingga adu domba.

Masalah lainnya yang kerap kali muncul ketika pelantikan pemimpin ialah pengucapan ikrar/sumpah yang seringkali dianggap sebagai formalitas/seremonial, padahal lafadz sumpah tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan apabila telah diucapkan oleh seseorang berarti dirinya siap menerima konsekuensi hukum apabila melanggar sumpahnya. Dalam arti lain seseorang itu wajib mengemban tanggungjawab atas sumpah yang dilakukannya terlebih disaksikan oleh masyarakat banyak.

5.    Nabi Daud AS. (Pemimpin yang Berhasil Menyatukan Kekuatan dan Hukum)

Nabi Daud AS. memiliki keahlian dalam membuat baju besi yang kemudian disimbolkan sebagai kekuatan. Sedangkan keberhasilannya dalam menyeimbangkan kekuatan dan hukum tertera dalam firman Allah sebagai berikut.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad: 26)

          Bahwasanya, jika kekuatan tidak diiringi dengan penegakkan supremasi hukum, hal itu akan mudah mengantarkan seorang pemimpin untuk bertindak diktator karena sang pemimpin dianggap sebagai sosok “dewa” yang kebal dari hukum. Sebaliknya, supremasi hukum tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ditopang oleh kekuatan yang memadai karena akan memberikan peluang kepada setiap orang untuk mudah melanggar hukum.

            Inilah pelajaran terhadap calon-calon pemimpin berikutnya di kemudian hari agar dapat berkaca bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang harta, jabatan dan kekuasaan belaka. Kita sebagai seorang muslim wajib mengkaji bagaimana Islam mengatur semua itu. Karena tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan kelak kita akan kembali lagi kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala hal yang pernah kita perbuat semasa hidup di dunia.

                Kisah kepemimpinan Nabi Daud AS. ini pula mengajarkan agar seorang pemimpin dapat berlaku adil dan tidak menyiksa rakyatnya dengan segala kebijakannya. Lalu, pemimpin pun diharuskan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengemban tonggak kepemimpinannya itu. Karena kekuatannya kelak suatu saat nanti dibutuhkan dan dapat mengusir penjajahan dari segala sudut yang dapat merusak kedaulatan negerinya serta dapat menjaga rakyat yang dicintainya.

           Pemimpin tidak boleh “bertangan besi” terhadap rakyat yang dipimpinnya dan jikalau dirinya salah, maka di hadapan hukum ia tidaklah berbeda dengan rakyatnya atau derajatnya sama di hadapan hukum. Jadi, pemimpin tidak boleh memiliki hak istimewa melainkan dikembalikan terhadap keadilan hukum yang telah disepakati bersama.

6.    Nabi Muhammad Saw.

Menurut Achyar Zein (2008: 149), bahwa berhasil tidaknya kepemimpinan seseorang dapat ditandai dengan sejauh mana nilai-nilai kasih sayang yang ditanamkannya untuk rakyat. Nabiyullah Muhammad SAW. adalah pemimpin yang memiliki jiwa kasih sayang. Barometer bahwa beliau memiliki jiwa kasih sayang ialah selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada diri dan keluarganya. Selain itu, Qur’an dan Sunnah yang dibawanya pun kerapkali dijadikan pijakan dalam mengarungi kehidupan agar umatnya atau rakyat yang dipimpinnya dapat bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

Apabila seorang pemimpin tidak memiliki kasih sayang maka dirinya akan membebankan penderitaan kepada rakyatnya seperti maraknya kasus korupsi, memaksakan pajak yang tinggi, membiarkan kemiskinan terjadi, acuh terhadap aspirasi rakyat, membuat kebijakan sewenang-wenang, dll.

Perlu kita ketahui bersama bahwa Islam sebagai agama begitu banyak mengajarkan nilai-nilai kasih sayang bukan kepada pemeluknya saja melainkan kepada semua makhluk. Bahkan lebih, Islam bukan sebatas agama yang hanya mengatur urusan ibadah semata melainkan juga mengatur bagaimana kita seharusnya berjual-beli, bergaul, hingga bernegara.

Di belahan bumi Barat sana, banyak yang alergi terhadap kehadiran Islam atau sering diistilahkan dengan kata Islamophobia. Orang-orang Barat menggambarkan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an di tangan kanan dan Pedang di tangan kiri. Dari situlah kemudian Islam selalu diidentikkan dengan istilah terorisme. Padahal, jika mereka ingin menelaah, Al-Qur’an diartikan sebagai pedoman dalam bernegara sedangkan pedang dilambangkan sebagai ketegasan.

Memang dalam sejarahnya Islam kerapkali melakukan peperangan atau jihad. Akan tetapi, peperangan yang dilakukan Islam tidaklah se-sadis yang dibayangkan oleh orang-orang Barat sana. Bahwasanya peperangan dalam Islam tetap menghargai yang namanya aturan seperti tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, para pendeta yang berdiam di tempat ibadah, tidak boleh merusak pohon, tanaman, bangunan, dll.

Bayangkan, apabila perang yang dipimpin oleh baginda Rasulullah dibandingkan dengan peperangan seperti Perang Dunia, jelas banyak sekali perbedaannya. Justru perang dunialah yang kemudian jelas-jelas melakukan teror dan merusak alam. Kita bisa ambil contohnya dari pengeboman kota penting di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki yang dibombardir oleh Amerika dan sekutunya, bukankah itu bisa dikatakan teror? Bukankah pengeboman itu merusak alam? Bukankah atas tragedi itu bergelimpangan mayat yang tak kenal mana wanita, orang tua renta, bahkan anak-anak pun kerap jadi korban?

Mari berpikir, jika Islam identik dengan kata “teroris”, sebenarnya kata “teroris” itu sendiri sampai detik ini masih rancu dan seringkali menjadi tolak ukur kepentingan semata.

Contoh lain bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi seluruh alam ialah pernah berjayanya Islam diranah pemerintahan selama berabad-adab lamanya dan daerah kekuasaannya mencapai hingga 2/3 dunia. Bayangkan, sosok Muhammad yang dahulu ditentang habis-habisan oleh kafir Quraisy bahkan beliau pun sempat mendapatkan penghinaan, pelecehan, dan cobaan-cobaan lainnya bersama para pengikutnya ketika berdakwah, dihari lain semuanya berbanding terbalik.

Inilah contoh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. yang memberi pelajaran kepada kita agar para pemimpin tidak hanya bisa dan merdu membaca Qur’an saja, tapi juga dapat menebar kasih sayang kepada rakyatnya dengan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits serta mengajak rakyatnya agar senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan inilah kepemimpinan baginda Rasul yang kita cintai ini dapat dekat dengan rakyatnya, bahkan dicintai oleh rakyatnya sehingga ketika beliau dinyatakan wafat banyak orang merasa kehilangan atas kepergiannya.

Nilai-nilai dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. lainnya adalah menduduki jabatan bukan untuk memperoleh kepetingan, popularitas, harta, dsb. Melainkan karena ingin menuntun segenap umat manusia yang hidup di bumi Allah agar enggan alergi terhadap syariat Islam serta mengajak mereka agar ikhlas dengan penerapan syariat Islam dan amu diatur serba-serbinya oleh Islam. Karena Islam merupakan agama yang sempurna, maka dengan diterapkannya Islam dalam kehidupan berakibat rakyat menjadi makmur, sejahtera, dan menjadi kebahagiaan bagi siapapun yang dapat menerapkannya.

Semoga dengan memahami kisah para Nabi di atas para pembaca dapat terinspirasi dan termotivasi agar selalu mengembalikan sebuah tampuk kepemimpinan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan berlandaskan hawa nafsu. Sehingga kepemimpinan di depan nanti dapat berkah baik di dunia maupun di akhirat. Diharapkan kelak dengan belajar terhadap kisah kepemimpinan para Nabi kelak nanti seorang pemimpin dapat bersinergi dengan rakyat yang dipimpinnya sehingga terciptalah lingkungan yang harmonis satu sama lain dalam beribada kepada Sang Illahi.

Sumber Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2009. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
An-Nabhani, Taqiyudin. Peraturan Hidup Dalam Islam. 2014. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.
Zein, Achyar. Prophetic Leadership Kepemimpinan Para Nabi. 2008. Bandung: Madani Prima.




[1] Berpergian

Previous
Next Post »