Sumber Foto: Doc. Pribadi
_______Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Di zaman orde baru banyak bermunculan mubaligh-mubaligh yang
keras dalam dakwahnya, seperti KH. Abu Hanifah, KH. Jamalullail, KH. Syukron
Ma'mun dan yang lainnya. Bukan tanpa alasan para penceramah itu muncul, yah itu
didasari karena kesewenang-wenangan penguasa terhadap umat Islam saat itu.
Menariknya, mubaligh-mubaligh itu semuanya mempunyai latar
belakang NU. Mereka berani menyampaikan kritik-kritik terbuka terhadap penguasa
dalam setiap ceramahnya. Jangan heran apabila akhirnya banyak di antara mereka
yang selalu diawasi ceramahnya. Kiai-kiai NU saat itu sudah terbiasa bolak-balik
koramil untuk diinterogasi mengenai setiap aktifitas pengajiannya.
Bisa dibilang nasib penceramah-penceramah FPI, HTI dan
sejenisnya saat ini mirip dengan mubaligh-mubaligh NU di zaman orde baru.
Mereka diawasi, ditekan bahkan diancam. Daya kritis mereka membuat penguasa
ketar-ketir, takut kekuasaannya tumbang di toa-toa para mubaligh yang tidak mau
diajak kompromi dengan gepokan rupiah.
Dahulu Pesantren dan masjid-masjid NU sering memanggil
mubaligh-mubaligh "garis keras" itu. Beberapa pesantren tua di
Cirebon, misalnya, sudah tidak asing lagi dengan KH. Jamalullail dan KH. Abu
Hanifah, karena keduanya sering dipanggil ceramah di sana. Kiai-kiai pesantren
tidak pernah menjuluki keduanya sebagai provokator, da'i radikal, ekstrimis,
anti pancasila, dsb.
Keputusan Kiai-kiai pesantren dan masjid-masjid masyarakat untuk
memanggil para penceramah yang berani mengkritik rezim orde baru saat itu
menunjukan persetujuannya dengan apa yang dilakukan oleh para mubaligh.
Salahkah apa yang dilakukan para kiai dahulu yang mengundang mubaligh-mubaligh
itu?
Tidak! Mereka tau rezim orde baru memang harus dikritik saat
itu. Bukan malah dijilat-jilat, bukan malah disanjung-sanjung.
Apa yang pernah terjadi pada masa lalu sudah sepatutnya kita
jadikan pelajaran, termasuk juga apa yang sudah dilakukan oleh kiai-kiai NU
terdahulu. Mereka tidak pernah menghalang-halangi para penceramah yang kritis
terhadap penguasa. Bahkan, justru mereka sendiri yang memberikan panggungnya.
Bagi mereka tidak ada istilah da'i garis keras, radikal dsb.
Istilah-istilah itu baru muncul belakangan, setelah kaum santri didoktrin
pemahaman-pemahaman sekuler liberal. Istilah Islam radikal dan garis keras
mereka tujukan kepada umat Islam yang tegas dan kritis terhadap para big boss
di sana yang sudah banyak mencairkan proposal sumbangannya.
Walhasil, mereka buta dan tuli dengan pelanggaran-pelanggaran
tuan besarnya, tidak mau tau dengan kebijakan-kebijakannya yang ngawur, bahkan
selalu menjadi pembela sekalipun tuannya salah.
Na'udzubillah
Cirebon, 29 Mei 2018
ConversionConversion EmoticonEmoticon